
Oleh: H. Muhyar Burhanudin, M.Pd.I
Peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November merupakan momen penting dalam menumbuhkan kembali semangat kepahlawanan bagi generasi bangsa. Peristiwa heroik ini menjadi tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari upaya penjajahan kembali oleh bangsa asing. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, eksistensi bangsa yang baru merdeka tersebut segera diuji oleh kedatangan pasukan Belanda yang membonceng Inggris. Mereka menuntut agar rakyat Surabaya menyerahkan kembali senjata yang telah direbut dari tangan Jepang. Ultimatum itu disebarkan melalui pamflet ke seluruh penjuru kota, memicu kemarahan rakyat Surabaya yang telah bertekad mempertahankan kemerdekaan dengan darah dan nyawa.
Konflik memuncak ketika bendera merah-putih-biru dikibarkan di atas Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit). Tindakan provokatif ini dibalas rakyat Surabaya dengan menurunkan dan menyobek bagian biru dari bendera tersebut, menjadikannya merah-putih—simbol kedaulatan Indonesia. Ketegangan meningkat setelah Inggris memberikan ultimatum kedua agar rakyat menyerahkan senjata rampasan. Namun, rakyat justru menolak dan menantang, menunjukkan semangat pantang menyerah. Inggris kemudian mendatangkan Bung Karno dan Bung Hatta ke Surabaya untuk meredam amarah rakyat. Namun, situasi terlanjur membara. Pertempuran pun tak terhindarkan, hingga menewaskan Jenderal Mallaby, komandan pasukan Inggris. Peristiwa ini mempermalukan Inggris dan memicu serangan besar-besaran pada 10 November 1945—yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.
Sebelum perang pecah, Bung Tomo yang menjadi simbol semangat perlawanan rakyat Surabaya, sempat mendatangi KH. Muhammad Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Ia memohon restu dan dukungan moral untuk mengobarkan semangat jihad melawan penjajah. Dengan penuh kebijaksanaan, KH. Hasyim Asy’ari memberikan restu dan mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 melalui kantor Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur. Seruan tersebut mewajibkan umat Islam, khususnya para santri, untuk mempertahankan kemerdekaan dan melawan penjajah. Hari bersejarah itu kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober.
KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya berjuang dengan kata-kata, tetapi juga dengan keteguhan sikap. Ketika Bung Tomo memintanya untuk mengungsi karena pasukan musuh mendekat ke Jombang, beliau menolak. Sang kiai memilih tetap bertahan di Tebuireng, menolak bersembunyi demi menunjukkan keteladanan bahwa ulama sejati tidak meninggalkan umatnya di masa genting. Konsistensinya terhadap ajaran agama juga tampak ketika beliau menolak melakukan seikerei, yaitu membungkuk setengah badan sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Jepang, Hirohito. Tindakan penolakan ini membuatnya dipenjara dan disiksa tentara Jepang, hingga jari-jarinya patah. Namun, KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah menyerah ataupun mengubah pendiriannya.
Meski dikenal sangat teguh dalam urusan agama, KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah memisahkan agama dari negara. Beliau meyakini bahwa membela tanah air merupakan bagian dari iman, sebagaimana prinsip “hubbul wathan minal iman”—cinta tanah air adalah bagian dari iman. Wujud nyata pandangan tersebut tampak ketika beliau mengutus putranya, KH. Abdul Wahid Hasyim, untuk terlibat langsung dalam Panitia Sembilan, yang merumuskan dasar negara Indonesia—yakni Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya ulama besar, tetapi juga negarawan sejati.
Kepedulian KH. Muhammad Hasyim Asy’ari terhadap bangsa dan negara merupakan teladan yang amat berharga bagi generasi masa kini. Dalam konteks modern, semangat resolusi jihad yang beliau kobarkan tidak lagi dimaknai sebagai perang fisik, melainkan perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, dan perpecahan bangsa. Nilai-nilai perjuangan dan nasionalisme beliau seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk memperkuat persatuan dan menolak segala bentuk upaya yang mempertentangkan agama dengan negara.
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari telah mengajarkan bahwa agama dan nasionalisme dapat berjalan beriringan dalam membangun peradaban bangsa yang berkeadilan dan berkeimanan. Sosoknya dihormati oleh berbagai kalangan, baik dari kelompok Islam tradisional maupun modern. Bahkan para akademisi menyimpulkan bahwa kepemimpinan beliau diterima oleh semua golongan. Oleh karena itu, mengenang jasa beliau bukan sekadar mengingat sejarah, tetapi juga meneladani nilai-nilai perjuangan, keteguhan, dan cinta tanah air yang beliau wariskan bagi Indonesia.
Wallahu a’lam bishawab.

Beri Komentar